Permainan Gempuran adalah suatu permainan
anak-anak yang artinya menggempur atau menghancurkan. Menurut kamus bahasa
Jawa, kata gempur adalah “remuk ajur” atau dalam bahasa Indonesia
mempunyai makna usaha atau tindakan menghancur-leburkan. Nama ini, jika dikaitkan
dengan permainan mempunyai motivasi untuk menghancurkan tumpukan pecahan
gerabah yang, merupakan alat perlengkapan dari permainan.
Kaitannya dengan peristiwa lain baik upacara yang bersifat
keagamaan atau pun upacara tradisional lainnya tidak ada. Permainan ini
sifatnya hiburan dimana anak-anak melakukannya sebagai suatu aktivitas untuk
mengisi kekosongan waktu senggang baik siang hari mau pun sore hari misalnya
pada waktu istirahat di sekolah atau sepulang dari sekolah dan setelah membantu
orang tuanya. Permainan gempuran tidak diiringi dengan musik atau pun
nyanyian-nyanyian apa pun. Jika terdengar suara bersiul-siul atau pun
berasendelan, gelak tawa, sindiran dan ejekan teriakan, hal itu merupakan
variasi dari para pemain untuk mengungkapkan cita rasa kegembiraan sehingga
permainan tersebut menjadi lebih semarak.
Jumlah para pelaku permainan tidak ditentukan, lebih banyak
jumlahnya akan lebih serulah permainan ini. Biasanya permainan ini dilakukan
oleh dua puluh orang, dan jumlah itu dibagi dua kelompok. Masing-masing
kelompok sepuluh orang. Peserta permainan ini adalah anak laki-laki yang
berusia antara sembilan sampai dengan empat belas tahun. Permainan ini mudah
dimainkan dan tidak memerlukan biaya, karena yang dibutuhkan hanyalah kekuatan
fisik, kecerdikan, akal, ketrampilan dan mampu memperkirakan.
Peralatan sebagai alat pelengkap dari permainan gempur sangat
sederhana, sesuai dengan kondisi alam yang dan latar belakang sosial budaya
agraris, yakni beberapa keping pecahan gerabah, tembikar atau kereweng yang
jumlahnya sama dengan jumlah anak yang bermain. Alat ini harus cukup keras, dan
kuat, serta tidak mudah pecah, serta dapat disusun dalam tumpukan yang tinggi
di atas tanah dalam keadaan labil.
Selain pecahan itu, diperlukan pula sebuah bola. Bola ini digunakan
sebagai alat pelempar, yang terbuat dari sisa-sisa kain (perca) atau daun
pisang kering yang digulung-gulung sampai berbentuk semacam bola bergaris
tengah sekitar sepuluh sentimeter. Kemudian dililit dengan tali temali sehingga
bola itu tetap pejal dan utuh bentuknya. Atau dapat juga dibuat dari anyaman
janur dengan ukuran garis tengah yang sama. Untuk tempat bermain dipilih
halaman yang luas atau suatu lapangan, “nilai” sebagai kemenangan dinyatakan
dengan hitungan suatu petak “sawah”.
Setelah semua peralatan yang diperlukan telah siap, dan jumlah
para pelalu telah mencukupi serta tempat untuk bermain telah disepakati pula
maka permainan pun dapat dilakukan. Sebelum permainan dimulai terlebih dahulu
dilakukan suatu konsensus berapa “sawah” yang harus dicapai
oleh setiap kelompok dalam permainan ini. Misalnya ditentukan sejumlah “sawah
lima“. Maka kelompok yang memperoleh “sawah lima” terlebih dahulu
dinyatakan menang. Begitu pula perjanjian yang menyangkut jenis hukuman bagi
kelompok yang dapat dikalahkan, misalnya kelompok yang kalah harus menggendong
kelompok yang menang pada jarak kejauhan tertentu.
Apabila semua pemain telah sepakat, maka dibentuklah kelompok
pemain. Dalam melakukan pemilihan kawan kelompok, mereka membanding-bandingkan
sesama pemain agar dua orang yang berlawanan itu setidak-tidaknya yang sebaya,
sama tinggi. sama kuat dan sama besar. Selanjutnya masing-masing pasangan
melakukan “suten”. Pihak yang kalah suten bergabung
dengan yang kalah, dan pihak yang menang bergabung dengan yang menang. Jika
penentuan anggota kelompok bermain ini telah ditentukan, kemudian mereka
melakukan “suten” lagi untuk menentukan kelompok pemenang.
Salah seorang sebagai wakil dari kelompoknya melakukan suten kembali,
untuk menentukan siapa yang menjadi besang dan siapa yang
menjadi pelempar bola. Misalnya kelompok A yang menang suten menjadi
pelempar dan kelompok B yang kalah menjadi besang.
Pihak yang kalah (kelompok B), mengambil beberapa keping pecahan
gerabah atau tembikar, dan menumpuknya dalam susunan labil di tengah lapangan
permainan. Setelah itu, kemudian ditentukan sebuah titik yang beijarak kurang
lebih tiga sampai lima langkah dari tumpukan pecahan gerabah tadi. Dari titik
inilah, kelompok pemenang (kelompok A) satu persatu melemparkan bola ke arah
tumpukan gerabah tadi (lihat gambar).
Pihak yang kalah (kelompok B) berjaga di sekitar tumpukan gerabah,
secara tersebar, merata, dengan perhitungan bahwa mereka siap menangkap bola
sewaktu-waktu bola dilempar lawan. Kelompok yang menjaga inilah yang disebut
besang. Kemudian pihak yang menang (kelompok A) bersiap-siap di sekitar titik
lempar, lalu satu persatu melempar bola ke arah tumpukan gerabah dengan tujuan
meruntuhkan dan menghancurkan.
Setiap pelempar hanya berhak melempar sampai tiga kali. Bila si
pelempar sampai tiga kali melempar belum juga berhasil menentukan tumpukan
pecahan gerabah, maka tugasnya segera digantikan teman berikutnya. Dan jika
seluruh anggota kelompok tidak ada satu pun berhasil, maka kelompok itu ganti
berfungsi sebagai besang. Kelompok yang tadi berjaga (kelompok B) kini menjadi
pelempar bola Sebaliknya apabila salah satu lemparan dari kelompok A mengenai
sasaran, maka besang (kelompok B) harus secepatnya menangkap bola dan berusaha
menembakkan bola ke arah tubuh lawan (kelompok A si pelempar bola), atau
melemparkannya pada temannya yang lain dari kelompok B. Maksudnya agar teman
tersebut (kelompok B) segera melemparkan bola untuk “ditembakkan” ke arah
salah satu tubuh lawan (kelompok A si pelempar bola). Pembawa bola itu harus
tetap berada di suatu tempat tertentu. Tetapi apabila tidak membawa bola, ia
boleh mencari tempat yang strategis untuk siap menerima bola dan menembakkannya
ke arah salah satu musuhnya yakni kelompok A. Ada pun pihak pelempar bola
(kelompok A) yang sekarang menjadi sasaran tembakan bola lawan (kelompok B),
harus berusaha menghindar dari kemungkinan ditembak dengan bola. Mereka akan
lari bercerai-berai menjauhi pemenang bola (anggota kelompok B). Ketika bola
ditembakkan dan tidak mengenai tubuh salah satu pemain lawannya (kelompok A),
ada kalanya bola itu jauh terpelanting dan tidak tertangkap oleh si besang (kelompok
B).
Bila terjadi demikian maka si pemenang (kelompok A) harus berusaha
menumpuk kembali pecahan gerabah yang porak-poranda tadi. Bila mi berhasil
tanpa terkena tembakan bola, maka secepatnya anak yang bersangkutan
meneriakkan kemenangannya dengan kata “sawaaaahhh ….” Ini
berarti kelompok pemenang (kelompok A) memperoleh satu nilai atau sawah satu.
Dan permainan pun dimulai lagi seperti semula. Demikianlah seterusnya sampai
salah satu kelompok mencapai “sawah lima” berdasarkan kesepakatan
bersama sebelum permainan dimulai. Jika ada kelompok yang memperoleh “sawah
lima” terlebih dahulu, maka kelompok itulah yang dinyatakan menang.
Selanjutnya kelompok yang kalah harus dihukum, yaknt menggendong kelompok yang
menang pada jarak yang telah ditentukan sebelumnya. Demikianlah permainan
tersebut biasanya berlangsung lama, karena untuk mencapai “lima sawah” itu
cukup sulit dan benar-benar memerlukan kerja sama kelompok yang sebaik-baiknya.
Analisa
Gempuran merupakan permainan anak-anak yang sangat digemari oleh para penggemarnya, di mana sekelompok anak laki-laki dengan puasnya melempar rekan sepermainan dengan sebuah bola. Dan di tengah halaman rumah terlihat pecahan-pecahan tembikar atau kereweng yang berserakan. Dilihat dari peralatan yang mereka pergunakan, seperti halnya dengan pecahan tembikar, kereweng atau gerabah dan bola yang terbuat dari sisa-sisa kain perca atau pun dedaunan pisang kering yang digulung-gulung sampai berbentuk bola, maka dapat dipastikan bahwa permainan ini merupakan permainan anak-anak petani yang sangat sederhana.
Gempuran merupakan permainan anak-anak yang sangat digemari oleh para penggemarnya, di mana sekelompok anak laki-laki dengan puasnya melempar rekan sepermainan dengan sebuah bola. Dan di tengah halaman rumah terlihat pecahan-pecahan tembikar atau kereweng yang berserakan. Dilihat dari peralatan yang mereka pergunakan, seperti halnya dengan pecahan tembikar, kereweng atau gerabah dan bola yang terbuat dari sisa-sisa kain perca atau pun dedaunan pisang kering yang digulung-gulung sampai berbentuk bola, maka dapat dipastikan bahwa permainan ini merupakan permainan anak-anak petani yang sangat sederhana.
Jika dilihat dari kata yang menjadi permainan gempuran itu sendiri
sudah menunjukkan asal-usul permainan ini, karena kata gempur sering
dipergunakan untuk menyebut suatu aktivitas menghancurkan atau meruntuhkan atau
merobohkan. Menghancurkan batu, cadas, tebing atau meruntuhkan bukit, tanggul,
semuanya dikatakan dengan kata “digempur”. Dan aktivitas ini banyak terjadi
pada usaha pertanian.
Selanjutnya kalau kita memperhatikan alat-alat yang dipergunakan
juga sangat sederhana. Pecahan gerabah, kereweng atau tembikar, sangatlah mudah
diperoleh karena benda-benda itu merupakan sisa-sisa peralatan rumah tangga
yang dibuat dari kalangan kehidupan pedesaan. Biasanya penduduk desa di
samping sebagai petani mereka juga membuat kerajinan dengan industri gerabahnya.
Hal ini pada umumnya mereka lakukan untuk mengisi kekosongan waktu ketika akan
menunggu panen tiba.
Alat yang lainnya, yakni bola; Bola terbuat dari sisa-sisa perca
atau daun pisang kering yang digulung-gulung berbentuk bola kecil, dan dililit
dengan tali apa saja yang dapat diperoleh di sekitarnya, atau anak-anak yang
telaten sering menggunakan anyaman janur. Pohon ini pun banyak diperoleh di
desa-desa di mana pohon kelapa tumbuh tidak terlalu tinggi. Bola ini juga dihasilkan
dari alam pertanian setempat.
Selain itu ada pula istilah yang menunjukkan latar belakang budaya
pertanian, yakni untuk menyebut “nilai” sebagai angka kemenangan yang diperoleh
dalam permainan dikatakan dengan kata “sawah”. Jadi untuk
menyebut setiap nilai diibaratkan memperoleh “sawah”. Dengan
demikian dapatlah dikesimpulkan bahwa permainan ini muncul sebagai kreativitas
anak-anak dengan berlatar belakang sosial budaya agraris.
Hal seperti tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa permainan
gempuran adalah permainan anak-anak petani, karena pada dasarnya bahwa
permainan apa pun tidak akan dapat meninggalkan warna kehidupan budaya
masyarakat yang dimilikinya. Seperti diketahui masyarakat pedesaan yang mata
pencaharian pokoknya adalah agraris di mana dalam kehidupan bermasyarakatnya
masih bergotong royong. Hidup bergotong-royong ini telah tertanam dalam
kehidupannya sebagai ciri dari masyarakat tersebut. Ada pun kehidupan
bergotong-royong ini dapat pula dikatakan dengan keija sama untuk mencapai
sesuatu, walau pun demikian kadang-kadang keija sama tidak identik dengan
gotong-royong. Tetapi yang dimaksud di sini identik dengan gotong-royong,
karena gotong-royong tidak dapat dipisahkan dengan keija sama untuk mencapai
sesuatu yang diinginkan, misalnya dalam permainan. Salah satunya adalah
permainan gempuran itu tadi.
Permainan gempuran seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
yakni suatu permainan yang muncul karena adanya kegiatan untuk menghancurkan
atau merobohkan tanggul yang sehubungan dengan aktivitas dari usaha pertanian,
misalnya untuk mendapatkan air. Air bagi masyarakat petani sangat diperlukan,
karena itu mereka berusaha dengan mengalirkan air atau membuat sungai baru
sehingga seluruh desa dapat dialiri air. Dalam hal ini pembagian air yang
merata sehingga semua masyarakat desa yang mempunyai sawah ladang mendapatkan
bagian air secara merata. Kehidupan ini dilakukan oleh masyarakat desa dengan
bergotong-royong, sehingga kerukunan teijalin dengan baik. Kerukunan untuk
bergotong royong merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa yang harus
mereka tanamkan. Untuk itu mereka mengungkapkan kepada anak-anak melalui
permainan, di antaranya permainan gempuran.
Kapan permainan itu sendiri mulai dimainkan, dan oleh siapa
mula-mula melakukannya tidak banyak diketahui. Yang jelas, permainan itu sudah
ada sejak dahulu. Kemungkinannya timbul karena sebagai kreativitas yang
diilhami oleh latar belakang budaya agraris.
Gempuran itu sendiri sebagai suatu permainan hiburan, sifatnya
kompetitif, karena si pemain berusaha untuk memenangkan permainan. Dan di dalam
permainan tersebut terkandung dua unsur gabungan, yakni unsur bermain dan
berolah raga. Dalam suatu permainan yang tidak sungguh-sungguh, sehingga anak
benar-benar menikmatinya sebagai permainan yang sangat menghibur. Unsur olah
raganya terlihat pada fungsi permainan yang cocok untuk melatih ketangkasan dan
ketrampilan anak-anak sehingga gerak badan yang ditimbulkan seolah-olah sedang
berolah raga. Sebagai suatu permainan, gempuran dimainkan tanpa takut mengalami
konsekuensi kekalahan, yang ada dalam perasaan mereka adalah rasa puas yang
bersifat sementara jika menjadi pemenang. Sebaliknya rasa tidak puas yang
bersifat sementara bagi yang kalah. Hal ini tampak apabila telah selesai
bermain maka anak-anak akan bersatu kembali, seolah-olah kelompok yang kalah
dan yang menang tidak ada sama sekali.
Apabila kita kaji latar belakang sosial budaya permainan ini, di
mana permainan tersebut berasal dari kalangan para petani yang dalam
pelaksanaannya tidak memandang stratifikasi sosial maupun pendidikan.” Jadi
siapa saja boleh turut dalam memainkan, sehingga permainan gempuran muncul
sebagai suatu permainan yang benar-benar merakyat. Kemudian mendukung semangat
mereka berkreasi sambil berolah raga, karena itulah pada dasarnya permainan
ini tidak akan dapat meninggalkan warna kehidupan masyarakat agraris yang
dimilikinya.
Selanjutnya, juga dalam masyarakat agraris kehidupan
bergotong-royong selalu tertanam karena ini merupakan ciri yang khas dari latar
belakang budaya agraris. Akan tetapi yang dimaksud gotong-royong dalam bentuk
permainan ini, yakni adanya keija sama yang dikaitkan dengan kehidupan
masyarakat. Kerja sama di dalam permainan ini terlihat adanya keija sama untuk
memainkan permainan, yakni untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, dalam hal
ini kemenangan. Ada pun istilah di dalam permainan gempuran angka kemenangan
yakni “sawah”. Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan
gempuran ini, antara lain: rasa gotong-royong, demokrasi, persatuan dan
kepatuhan.
a. Unsur gotong royong. Kegotong-royongan
dalam melakukan permainan ini sangat tampak, yang dimaksud dengan kegotong-royongan
dalam permainan seperti yang telah disebutkan di atas, yakni keija sama untuk
mencapai sesuatu. Misalnya, ketika salah seorang dari anggota kelompok A (pelempar
bola) tidak berhasil melemparkan bola ke arah tumpukan gerabah, maka tugasnya
digantikan oleh temannya yakni dari kelompok yang sama. Begitu pula bagi
kelompok B (besang), apabila lawannya (kelompok A) berhasil melempar dan
mengenai sasaran tumpukan gerabah, maka bola harus segera ditangkap dan lalu
melemparkannya kepada temannya yang sekelompok agar segera menembakkan ke
arah salah satu tubuh lawan (kelompok A). Jadi maksudnya, agar kelompoknya
(kelompok B) berganti fungsi jadi pelempar bola. Dengan demikian di sini
tampak sekali keija sama di antara para pemain.
1. Unsur demokrasi. Yang dimaksud dengan demokrasi di sini adalah
dalam pemilihan kawan sekelompok, yakni mereka membanding-bandingkan sesama
pemain agar dua orang yang berlawanan itu setidak-tidaknya sebaya, sama tinggi
dan sama kuat, sehingga dua kelompok itu mempunyai dua kekuatan yang sama.
Caranya, yakni dengan melakukan “suten”. Pihak yang menang bergabung dengan
kelompok yang menang dan yang kalah bergabung dengan yang kalah.
2. Unsur persatuan. Rasa persatuan di dalam memainkan permainan ini
tampak, yakni ketika kelompok A akan melawan kelompok B. Di sini masing-masing
anggota kelompoknya bersatu sehingga menjadi suatu permainan yang benar-benar
kompak.
3. Kepatuhan Ketika salah satu kelompok telah berhasil memenangkan
sawahnya dengan jumlah yang telah ditentukan sebelumnya, maka kelompok yang
menang itu harus digendong oleh kelompok yang kalah. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kalah menangnya suatu permainan yang harus dilaksanakan.
Selain unsur-unsur tersebut di atas, dalam permainan ini tampak
adanya pengembangan fisik mau pun mental. Dalam pengembangan fisik yakni
ketangkasan dan ketrampilan, sedangkan dalam pengembangan mental yakni
kecermatan karena dapat memperkirakan. Contohnya, ketika salah seorang dari
anggota kelompok A akan meruntuhkan tumpukan gerabah, di sini tampak bahwa si
pelempar dengan cermat dan dapat
Pada saat ini permainan gempuran mengalami kemunduran bahkan
hampir punah, padahal permainan tersebut sebagai salah satu bentuk kreatifitas
yang sehat. Banyak nilai edukatif yang terkandung dalam permainan ini, akan
tetapi permainan ini kurang mendapat perhatian. Hal ini. dikarenakan para
pendidik dan orang tua kurang menyadari manfaat permainan ini bagi perkembangan
anak-anak. Malahan kadang kala dianggap permainan yang mengganggu, karena
rusaknya halaman, debu yang beterbangan, kegaduhan suasana dan mengganggu lalu
lintas orang di tepi jalan atau pun di halaman rumah. Atau dapat pula karena
anak-anak lebih menyenangi permainan yang sudah modern, karena masuknya
teknologi modern memperkirakan bisa meruntuhkan tumpukan gerabah.
If you're looking to lose weight then you need to start following this totally brand new custom keto meal plan.
BalasHapusTo create this keto diet, licensed nutritionists, fitness trainers, and professional chefs joined together to develop keto meal plans that are useful, painless, money-efficient, and satisfying.
Since their first launch in 2019, hundreds of clients have already remodeled their body and health with the benefits a certified keto meal plan can give.
Speaking of benefits: in this link, you'll discover eight scientifically-tested ones given by the keto meal plan.