Penteng merupakan nama salah satu
permainan tradisional rakyat Madura, khususnya permainan untuk anak-anak.
Permainan ini hanya mempergunakan dua potong kayu lurus sebesar ibu jari orang
dewasa. Bahan untuk alat permainan ini mudah diperoleh, karena terdapat di daerah
sekitarnya.
Permainan ini tidak mempunyai hubungan dengan suatu peristiwa,
baik keagamaan maupun upacara tradisional, karena itu permainan penteng ini
hanya merupakan permainan hiburan yang dalam pelaksanaannya dimainkan pada
waktu senggang untuk mengisi kekosongan.
Dalam pelaksanaannya permainan penteng tidak pula diiringi
anak-anak ada yang bermain sambil bersiul-siul atau mendendangkan lagu, hal
itu merupakan hal yang biasa sebagai cetusan spontan dari jiwa anak-anak yang
gembira. Bagi anak-anak pedesaan memang merupakan suatu kebiasaan untuk
bermain penteng sambil menunggu padi di sawah atau sambil mengembalikan ternak
mereka di padang. Permainan ini sangatlah sederhana dan mudah dimainkan.
Hampir semua anak-anak dapat memainkannya, karena yang diperlukan hanya
keterampilan, kejelian dan sedikit pemikiran, agar dirinya menang. Selain
bersifat hiburan, permainan ini juga bersifat kompetitif karena ada lawan
bermain dan ada ketentuan kalah menang.
Permainan penteng dimainkan oleh anak-anak paling banyak enam
orang, kemudian dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok tiga orang
anak. Selain dimainkan secara berkelompok permainan ini dapat pula dimainkan
secara perorangan, yakni satu lawan satu hanya saja bila dimainkan secara
perorangan terasa kurang mengasyikkan. Oleh karena itu permainan ia, lebih
sering dimainkan secara berkelompok sehingga menjadi lebih semarak.
Pada umumnya penteng dimainkan oleh anak laki-laki, namun
tidak tertutup kemungkinan bagi anak perempuan. Asal saja anggota kelompok
permainan ini harus sama sejenis. Hal ini, disebabkan pada akhir permainan ada
acara gindungan (bergendongan), yang kalah harus menggendong yang menang. Para
pelaku dari permainan tersebut, rata-rata berusia antara enam sampai dengan
lima belas tahun dengan tidak membatasi kelompok masyarakatnya.
Peralatan yang dipergunakan dalam permainan penteng terdiri
dari dua bilah kayu sebesar ibu jari dengan ukuran yang berbeda, satu pendek
dan satu lagi panjang. Kayu yang pendek, berukuran kira-kira 13 cm, disebut pangkene, sedangkan
yang panjang berukuran kira-kira 39 cm disebut panglanjang. Kedua
bilah kayu biasanya ini terbuat dari kayu gabus, atau dari bambu yang dipotong
sedemikian rupa. Selain kedua alat tadi, juga diperlukan sebuah lubang kecil di
tanah yang berukuran panjang antara 20—25 cm dengan lebar 5 cm dan dalam
lubangnya kira-kira 5 cm. Lubang ini dipergunakan sebagai tempat penyoket (penyukit) pangkene oleh panglanjang.
Apabila peralatan yang diperlukan telah ada, maka dicarilah ter dengan
panjang kira-kira sepuluh meter. Setelah disepakati oleh para pemain dan
persiapan lainnya telah disiapkan, juga disepakati jumlah nilai yang hendak
dicapai (misal nilainya hanya sampai 50 atau 100), maka permainan dapat
dimulai.
Para pemain yang berjumlah enam orang ini memilih kawannya
yang sebaya melakukan “suten” untuk menentukan siapa-siapa
yang termasuk teman bermainnya. Yang menang berkelompok sama yang menang dan
yang kalah berkelompok dengan yang kalah. Jika telah ditentukan masing-masing
anggota kelompok, selanjutnya diadakan kembali “suten” untuk
menentukan kelompok mana yang mendapat giliran pertama bermain (alako kaada).
Dua orang anak mewakili kelompoknya masing-masing melakukan “suten” alagi.
Bagi kelompok yang menang dalam “suten” mendapatkan giliran
pertama untuk alako (bekerja), sedangkan kelompok yang kalah
bertugas untuk se ajaga (menjaga).
Setelah semuanya disepakati dan kelompok yang alako dan se
ajaga telah diketahui, barulah permainan dimulai. Misalnya, kelompok
1 yang alako dan kelompok II yang se ajaga Mereka
tidak terikat dengan, urutan pemain dalam kelompoknya. Pemain bebas melakukan nyoket (menyukit)
lebih dahulu. Kalau terdapat kesalahan yang dilakukan oleh seorang pemain di
dalam kelompoknya pada satu tahap permainan yang harus diselesaikan, tidak boleh
digantikan oleh kawannya untuk menyelesaikan tahapan berikutnya. Temannya
harus melakukan dari semula kembali.
Jalan permainan penteng ini, terdiri dari
beberapa tahapan yang harus diselesaikan oleh setiap pemain. Tahap pertama,
yakni menyoket pangkene dengan panglanjang. Pemain
pertama dari kelompok alako (kelompok I) akan menyoket,
pangkene ditaruh melintang di atas lubang kecil lalu dicukit dengan panglanjang ke
depan (lihat gambar).
Penyukit yang pandai akan mengarahkan pangkene ke
tempat yang tidak dijaga dan diusahakan agar pangkene tidak
dapat ditangkap oleh lawan. Apabila tiga kali berturut-turut dalam tahap ini pangkene tertangkap
oleh lawan, berarti kelompok I yang alako gagal dan harus
diganti oleh pemain dari kelompok II yang se ajaga. Jika cukitan pertama tidak
tertangkap oleh yang se ajaga (kelompok II), maka dari batas
berhentinya pangkene tadi oleh panglanjang yang
ditaruh melintang di atas lubang. Jika pangkene mengenai panglianjang berarti
penyukit pertama gagal dan diganti oleh penyukit kedua dari kelompok I. Juga
dinyatakan gagal apabila cukitannya dapat ditangkap oleh kelompok II.
Selanjutnya penyukit kedua sekarang melakukan cukitan dan kalau berhasil
(artinya tidak tertangkap dan tidak mengenai panglanjang) ia
dapat melanjutkan ke tahap berikutnya.
Pada tahap kedua, yaitu memukul pangkene dengan panglanjang. Kedua
alat itu dipegang dengan tangan kanan, pangkene dilemparkan
ke atas lalu dipukul dengan panglanjang (lihat gambar). Bila pangkene yang
melayang tidak dapat ditangkap oleh lawan, kelompok I memperoleh nilai dengan
mengukur jarak jatuh pangkene ke lubang, diukur dengan
menggunakan panglanjang. Kalau pangkene dapat
ditangkap oleh lawan dan dilemparkan kembali ke lubang, atau ketika jatuh dan
ternyata masih bergerak lalu disepak ke arah lubang sehingga jarak pangkene ke
lubang tidak lagi sepanjang panglanjang maka gagallah penyukit
kedua itu penyukit ketiga dengan dimulai dari cukitan pertama. Sebaliknya bila
masih dapat diukur baik di muka atau di belakang lubang, dianggap hidup dan
memperoleh nilai. Maka pemain dapat melanjutkan tahap berikutnya.
Pada tahap ketiga, yakni dengan memukul pangkene yang
ditaruh memanjang dalam lubang dengan sebagian menonjol (mencuat) ke luar.
Kemudian yang menonjol ke luar itulah yang dipukul sehingga meloncat ke atas
lalu dipukul lagi oleh panglanjang ke depan (lihat gambar).
Kalau pangkene tidak tertangkap oleh lawan, kelompok I
memperoleh nilai lagi dengan mengukur jarak jauh terpelantingnya pangkene ke
lubang dengan panglanjang. Untuk mendapatkan nilai yang lebih
banyak lagi, bila pangkene pada waktu melesat ke luar dari lubang
dapat dipukul dua kali (berarti terkena pukulan tiga kali tanpa menyentuh
tanah) maka alat pengukurnya bukan panglanjang tetapi diukur
dengan pangkene. Kemudian pemain melanjutkan tahap selanjutnya
ialah metar.
Di tahap metar ini, pangkene ditaruh
di atas tangan kiri yang ditelungkupkan. lalu dilontarkan ke atas dan dipukul
dengan panglanjang. Apabila lawan tidak berhasil menangkapnya maka kelompok I
menambah nilainya. Jika pangkene yang dilontarkan ke atas
dapat dipukul dua kali, maka alat penghitungnya pun pangkene sehingga
penambahan nilai lebih banyak lagi.
Tahap selanjutnya adalah dengan menaruh pangkene di
antara jepitan tangan dengan lengan tangan kanan, lalu dilontarkan ke atas dan
dipukul. Bila tidak berhasil ditangkap oleh lawan, maka nilai bertambah
lagi. Begitu pula jika pukulannya dua kali, maka alat pengukurnya pun bukan panglanjang tetapi pangkene.
Sebagai tahap yang terakhir, ialah menaruh pangkene di
atas jari kaki kanan, lalu dilontarkan ke atas dan dipukul dengan panglanjang. Jika
tidak tertangkap olah lawan, kelompok I menambah nilai lagi. Apabila nilai
akhir sudah tercapai oleh salah satu kelompok, maka kelompok yang menang mulai
melakukan metar yang kedua. Metar yang kedua
ini mula-mula dilakukan oleh pemain pertama, caranya yakni dengan menaruh pangkene di
atas telapak tangan kiri yang tertelungkup, kemudian dilontarkan ke atas
kemudian dipukul pangkene dengan panglanjang. Lalu
dilanjutkan oleh pemain yang kedua, juga melakukannya hal yang sama seperti
permainan yang pertama dari tempat jatuhnya pangkene ke arah
lain yang disenangi. Begitu juga pemain yang ketiga menyambungnya dengan metar juga
dari tempat jatuhnya “petaran” pemain yang kedua. Apabila
ketiganya berhasil memetar jauh-jauh, piaka pihak yang kalah
harus menggendong yang menang sejauh jumlah jarak petaran menuju pangkal petaran.
Di sinilah puncak kegembiraan permainan penteng itu. Para pemain
yang kalah dapat minta untuk bermain lagi, dapat tukar menukar kawan atau
diganti dengan mengadakan “suten” lagi. Hal ini semuanya
tergantung kepada anak-anak. Pada umumnya mereka bermain dua kali, dan sesudah
itu bubar pulang ke rumahnya masing-masing.
Analisa
Sesuai dengan iklim tropisnya, kehidupan masyarakat Madura bersifat agraris, dengan mata pencaharian pokok pada umumnya adalah bertani. Dalam kegiatan bercocok tanam mereka saling menolong, hal ini merupakan kebiasaan masyarakat di desa pada umumnya.
Sesuai dengan iklim tropisnya, kehidupan masyarakat Madura bersifat agraris, dengan mata pencaharian pokok pada umumnya adalah bertani. Dalam kegiatan bercocok tanam mereka saling menolong, hal ini merupakan kebiasaan masyarakat di desa pada umumnya.
Dalam kegiatan-kegiatan di ladang atau pun di sawah-sawah, orang
tua selalu mengajak anak-anaknya untuk turut membantu sesuai dengan fisik anak
tersebut. Dalam perjalanannya menuju sawah ladang itulah anak-anak menemukan
pohon bambu. Bambu oleh masyarakat sengaja mereka tanam, karena banyak
kegunaannya. Bambu ini sengaja mereka tanam sebagai penahan erosi dan tempat
berteduh para petani mau pun para penggembala dari sengatan terik matahari.
Selain itu bambu juga dapat digunakan untuk membuat rumah. Rumah-rumah
tradisional masyarakat Madura pada umumnya terbuat dari gedek yang
bahannya dari bambu. Bambu tersebut dikerat tipis-tipis dan dianyam sedemikian
rupa yang dibaut bilik, selain itu juga dapat dibuat untuk keperluan yang
lainnya yang berupa kerajinan tangan berupa anyam-anyaman. Tidaklah
mengherankan, bambu tersebut banyak sekali menfaatnya bagi masyarakat petani.
Penteng sebagai suatu permainan anak-anak sudah dikenal sejak
dahulu. Siapa yang mula-mula melakukan permainan ini tidak banyak diketahui,
yang jelas permainan ini sudah ada sejak dahulu. Pada mulanya permainan ini
dimainkan oleh anak-anak petani dengan tidak membatasi stratifikasi sosial.
Jadi. siapa saja dapat memainkannya. Biasanya anak-anak petani ketika akan
menuju ladang, melalui jalan yang panjang, sepanjang jalan itu diteduhi oleh
pohon bambu. Ketika beristirahat, mereka akan berteduh dinaungan bambu, dan
pada saat itulah anak-anak sambil duduk duduk ada yang memotong bambu itu untuk
kemudian mereka membuatnya jadi alat permainan, yang penyelenggaraannya
dilakukan untuk mengisi waktu terluang di siang hari. Permainan penteng ini
merupakan suatu permainan yang khas, sesuai dengan kondisi lingkungan di mana
keadaan sosial masyarakatnya telah melatarbelakangi budaya dalam bentuk
permainan rakyat.
Bentuk permainan ini, sudah dikenal di luar pulau Madura, karena
Madura letaknya di ujung Jawa Timur, sehingga tidak mustahil kebudayaan yang
datang dari luar mau pun dari dalam bercampur dan kebudayaan itu dibawa ke luar
Madura atau sebaliknya.
Tidaklah heran apabila permainan yang sama juga terdapat di luar
pulau Madura, walaupun namanya berlainan akan tetapi cara dan jalannya
permainan sama. Seperti di Jakarta, permainan ini namanya gatrik, di Aceh peh
kayee, di Sulawesi Selatan maccule/accangke.
Permainan penteng yang merupakan permainan rakyat tradisional
mempunyai arti yang penting dalam meningkatkan nilai-nilai budaya, terutama
bagi pelaksanaan permainan. Permainan ini dapat mendidik anak-anak agar menjadi
tahu bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini sangat berguna, seperti bambu
yang menjadi bahan alat permainan ini. Bambu tersebut banyak sekali kegunaannya
seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Di dalam meningkatkan nilai-nilai budaya, permainan penteng
merupakan kegiatan permainan yang sifatnya hiburan tetapi mengandung gabungan
dua unsur yakni unsur bermain dan berolah raga. Dalam unsur bermain, anak-anak
yang terlihat dalam permainan ini dapat menikmatinya sebagai suatu permainan
yang sangat mengasyikkan. Sedangkan dalam unsur olah raga, anak yang terlibat
dalam permainan ini tentunya dapat membuat gerak permainan di mana setiap gerak
permainan ini dapat diartikan sebagai olah raga yang dapat melenturkan
otot-ototnya, yakni melatih ketrampilan dan ketangkasan anak-anak. Selain itu
juga dapat mengembangkan daya pikir dalam menghitung nilai-nilai yang
diperoleh.
Oleh karena itulah, permainan penteng dapat
membantu pembentukan jiwa dan sifat anak agar berjiwa sportif, trampil, sigap,
dapat menggunakan otaknya untuk mengembangkan daya pikir menyiasati lawannya
dan memperluas pergaulan dengan menggunakan waktu senggangnya untuk hal-hal
yang efektif. Apabila kita kaji latar belakang sosial budaya dari permainan
ini, di mana permainan berasal dari permainan anak-anak petani yang dalam
pelaksanaannya dapat mendidik anak-anak dalam rangka proses sosialisasi, maka
nilai-nilai yang terkandung dalam permainan ini antara lain:
1. Rasa disiplin, karena pemain harus mematuhi peraturan-peraturan
permainan yang telah disepakati bersama. Seperti, jika ada pemain yang
melakukan kesalahan pada satu tahap permainan untuk menyelesaikan tahapan
berikutnya, jadi temannya harus melakukan dari semula kembali.
2. Nilai-nilai yang diperoleh dari masing-masing anggota kelompok
disatukan (dijumlahkan) sehingga mencapai/memperoleh nilai yang telah
ditentukan. Begitu pula dalam kelompok yang se ajaga, di sini
nampak keija sama di antara anggota pemainnya karena setiap anggota pemain
selalu siap berjaga agar dapat menangkap pangkene yang
terlempar ke atas. Ketika pangkene oleh yang aloko dilemparkan,
maka salah seorang anggota kelompok yang se ajaga akan
berusaha untuk menangkapnya sehingga kelompok yang alako menjadi
mati atau tidak mendapat nilai, sehingga teijadilah pergantian pemain. Karena
itulah, dengan hasil yang sama ini akan menumbuhkan rasa kesatuan dan
persatuan.
3. Sportifitas atau kepatuhan akan perjanjian, yakni mempunyai jiwa
konsekuen, jika mendapat kekalahan mematuhi perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya. Kelompok yang kalah akan menggendong kelompok yang menang.
4. Pada masa ini, permainan penteng kurang berkembang terutama di
kota-kota, tetapi di desa-desa terutama di kalangan anak-anak pada masyarakat
yang kurang mampu masih digemari.
Hal ini, kemungkinan menurunnya minat anak-anak terhadap permainan
penteng karena sudah banyak jenis permainan anak-anak yang modern atau memang
anak-anak sekarang waktunya lebih banyak tersita untuk berbagai kegiatan di
sekolah mau pun masyarakat, sehingga waktu terluang tidak banyak seperti
dahulu. Atau dapat pula karena kehidupan perekonomian orang tua yang semakin
berat, menyebabkan anak-anak penduduk Madura khususnya di desa yang tidak
mampu, terpaksa ikut membantu orang tuanya membantu mencari dan menambah sumber
penghasilan. Keadaan ini umumnya masih sering terjadi di daerah pedesaan dan
di daerah pesisir. Tidak masuknya anak-anak ke sekolah, karena adanya kegiatan
musim tertentu sehingga tenaganya banyak dibutuhkan untuk membantu orang
tuanya. Keadaan demikian, tentunya tidak banyak membantu perkembangan suatu
permainan anak-anak yang memang membutuhkan waktu senggang dalam memainkan
suatu permainan dengan teman-temannya. Namun demikian, tidak berarti permainan
ini menghilang, sebab masih sering tampak kerumunan anak-anak yang bermain dan
cukup banyak penggemarnya, terutama kalangan anak-anak.
Hanya saja dikhawatirkan akan hilang kalau keadaan ekonomi
penduduk sedemikian rupa sehingga anak-anak diperlukan orang tuanya untuk
membantunya dalam perjuangan hidupnya, dan banyaknya kegiatan yang menyita
waktu bagi anak-anak untuk memperoleh kesenggangan untuk bermain sesuka
hatinya. Begitu penteng akan lenyap tetapi juga permainan tradisional lainnya
juga adanya hiburan lainnya seperti mendengarkan lagu-lagu melalui radio
transistor, atau adanya bacaan yang dapat dibaca sambil bersantai-santai,
maka tidak saja permainan tradisional seperti yang semacam ini akan lenyap
pula.
Sumber: lontarmadura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar