Le-alle bengko adalah suatu permainan anak-anak yang bersifat
kompetitif. Le-alle bengko ini terjadi dari dua kata. yakni le-alle dan bengko.
Le-alle berasal dari kata alle berarti pindah”, jade le-alle berarti
“berpindah-pindah” Bengko berarti “rumah”. Apabila kita tejemahkan ke dalam
bahasa Indonesia secara harfiah, kata le-alle bengko berarti “berpindah-pindah
rumah”. Pengertian “rumah” di sini bukanlah rumah yang sebenarnya, tetapi
adalah “tiang”, tempat pangkal anak bermain yang diumpamakan rumah, dan tiang
tersebut adalah tiap rumah atau tiang teras rumah (dalam bahasa Madura:
“soda”). Rumah tanyyan lanjang (halaman panjang) ini adalah rumah yang terdiri
dari beberapa petak dan menyatu. Petak-petak ini ditempati oleh suatu keluarga
besar, sehingga rumah itu berbentuk empat persegi panjang yang berke- lilingnya
pada “soda” (teras) bertiang.
Rumah taneyan lanjang mempunyai tiang-tiang pada setiap sudut
“soda”. Tiang sudut “soda” inilah yang diumpamakan sebagai rumah bengko) oleh
anak-anak dalam permainan le-alle bengko.
Permainan ini tidak ada kaitannya dengan peristiwa lain yang
bersifat religius magis seperti upacara siklus hidup seseorang, upacara bersih
desa, sedekah laut ataupun dengan upacara keagamaan. Olah karena itu, permainan
le-alle bengko hanya merupakan permainan rekreatif yang sifatnya hiburan untuk
mengisi waktu senggang baik pada siangkah maupun pada malam hari.
Permainan le-alle bengko ini sangat digemari oleh anak-anak.
Karena selain mudah dimainkan juga tidak memerlukan beaya. Ada pun aturan dan
cara permainannya pun sangat sederhana dan tidak rumit. Yang diperlukan dalam
permainan ini hanyalah tenaga •dan kegiatan semalta-mata.
Pelaku-pelaku permainan ini terdiri dari dua kelompok yang
berlawanan. Masing-masing kelompok terdiri dari empat orang anak, jadi jumlah
pemain seluruhnya delapan orang anak. Satu kelompok (empat orang anak) seperti
“penjaga rumah”, sedangkan satu kelompoknya lagi sebagai kelompok “penyetgap”
yang bersiap-siap untuk memperebutkan rumah-rumah tersebut.
Kedelapan anak pemain ini rata-rata berusia antara delapan sampai
dengan dua belas tahun. Kelompok pemain tidak boleh campuran antara anak
laki-laki dengan anak-anak perempuan. Kelompok bermain harus anak-anak
sejenis, laki-laki saja atau perempuan saja. Hal ini disebabkan, karena dalam
permainan ini ada konsekuensi kalah menang, yakni kelompok yang kalah harus
menggendong kelompok yang menang.
Peralatan yang dipergunakan dalam permainan le-alle bengko hanya
empat bilah tiang “soda” (teras) rumah yang sudah ada. Untuk peserta anak laki-laki
biasanya dipilih tiang-tiang “soda” rumah teneyan lanjang, maksudnya agar jarak
dari tiang ke tiang agak jauh. Sedangkan anak-anak perempuan memilih rumah
taneyan lajang yang tidak panjang. Tiang-tiang ini harus kuat dan dari tiang ke
tiang tidak ada perintang.
Peramainan le-alle bengko ini tidak diiringi irama gamelan musik
atau pun nyanyian, akan tetapi yang terdengar hanya suara teriakan-teriakan
yang selalu menyertai permainan ini, misalnya teriakan memperingatkan
kawannya, teriakan terkejut atau teriakan-teriakan yang memberi semangat serta
gertak sebagai siasat.
Apabila pelaku-pelaku permainan ini telah berkumpul, lalu diadakan
suatu konsensus terhadap aturan-aturan permainan, seperti:
1. Pemilik rumah tidak boleh terlalu lama tidak pindah rumah, apabila
terlalu lama mereka akan diperingati oleh kelompok lawannya.
2. Suatu rumah tidak boleh direbut oleh dua orang anak dalam satu
kelompok.
Kemudian apabila masing-masing telah mengetahui aturan- aturan
permainan dan para pelaku telah berkumpul, maka dilakukanlah pemilihan dalam
kawan kelompok. Dalam memilih kawan kelompok ini, mereka banding-bandingkan
sesama pemain, agar dua orang yang berlawanan itu setidak-tidaknya seusia, dan
sebanding pula ketrampilannya, kegiatan serta kekuatan fisiknya. Setelah mereka
membagi dua-dua yang seimbang lalu mereka melakukan “suten”. Pemenang sama-sama
pemenang kelompok, yang kalah masuk kelompok yang kalah. Jika penentuan anggota
kelompok bermain ini telah ditentukan, kemudian mereka melakukan “suten” lagi
untuk menentukan kelompok pemain dan pe- nyergap. Salah seorang sebagai wakil
dari kelompoknya melakukan “suten” dengan kelompok lawannya, misalnya kelompok
A yang menang “suten” dan kelompok B yang kalah “suten”. Yang menang (kelompok
A) mendapat kesempatan bermain lebih dahulu, yaitu menjadi “pemilik” dan
sekaligus sebagai “penjaga rumah”; sedangkan yang kalah (kelompok B) menjadi
“penyergap”.
Setelah diketahui kelompok yang menang dan kelompok yang kalah,
serta telah ditentukan tempat permainan maka permainan pun dimulai. Kelompok A
sebagai pemenang; masing-masing anggota memiliki tiap (rumah) yang dijaga oleh
seorang pemain. Tiang pertama dijaga oleh A, tiang kedua oleh A2, tiang ketiga
oleh A3, dan tiang ke empat oleh A4. Sedangkan kelompok B sebagai kelompok “penyergap”
untuk merebut rumah yang kosong berdiri di tengah-tengah, seperti BI. berdiri
di antara Al – A2; B2 di antara A2 – A3; B3 di antara A3 – A4 dan B4 diantara
Al – A2 (lihat gambar).
Dalam permainan ini Al harus berhasil-pindah ke A2, lalu ke A3 dan
ke A4 sehingga kembali lagi ke A1; jika berhasil maka menanglah kelompok A.
Usaha pindah rumah harus teijaga. Caranya, dengan segera diganti oleh kawan
kelompoknya, sebab lawannya selalu mengincar kekosongan rumah tersebut. Kalau
rumah tidak teijaga, atau diganti/ ditempati oleh teman kelompoknya, maka rumah
tersebut akan segera direbut dan diduduki oleh lawan kelompoknya. Apabila
teijadi hal yang demikian, teijadilah pergantian kelompok, lawannya (kelompok
B) sekarang sebagai “pemil- lik” atau “penjaga rumah”. Pindah rumah dari satu
rumah ke rumah lainnya, menurut arah jarum jam (lihat denah arena permainan).
Jadi Al berusaha pindah ke A2, dan bersamaan dengan itu A2
berusaha pindah ke’ A3 dan A3 berusaha pindah ke A4. karena itulah tim atau
kelompok A harus kompak, keijasama yang rapi, dan selalu mencari kesempatan
kelengahan lawan, agar serempak bisa pindah rumah sehingga rumah yang ditinggal
tidak dapat direbut. Kegesitan, siasat dengan gertak pura-pura betul-betul
diwujudkan dengan pindah rumah, sehingga lawannya kelabakan. Karena itu sebelum
permainan dimulai kelompok-kelompok tersebut menentukan siasat bersama.
Misalnya dalam gertak pertama, kedua dan ketiga (dalam usaha pindah rumah yang
pertama) adalah gertak pura-pura; tetapi gertak yang keempat adalah betul-
betul pindah rumah. Bila berhasil ganti siasat, gertak pertama dan kedua
pura-pura, tetapi gertak yang ketiga betul-betul pindah rumah. Begitulah
selanjutnya.
Bila Al berhasil pindah ke A2, lalu ke A3 lalu berhasil ke A4 dan
kembali lagi ke Al, juga teman-temannya berhasil pindah maka menanglah kelompok
A, dan mereka berhak memperoleh gendongan dari lawannya (kelompok B) dari tiang
Al berkeliling
rumah sampai ke A1 lagi.
Begitu pula kelompok B adu siasat, di samping harus selalu waspada
agar siap-siap menyergap merebut rumah yang kosong. Sekali pun BI harus berdiri
di tengah-tengah Antara Al – A2 (begitu pula kelompok B yang lain), tetapi
dengan siasat pembagian tugas pengawasan sehingga tidak sampai terjadi
tabrakan sesama teman. Artinya, satu rumah diperebutkan oleh dua orang temanya
(B). Karena itu, pembagian perebutan diatur seteman, seiring berlawanan dengan
jarum jam (lihat dengan arena permainan) atau sebaliknya. Apabila satu rumah
berhasil direbut berarti semua rumah jatuh kepada lawannya. Pihak yang pindah
rumah selalu dicari yang lemah oleh lawannya, karena itu salah seorang pemilik
rumah yang lemah selalu menjadi incaran lawannya.
Apabila kelompok A sulit untuk pindah rumah, sanksinya ialah ganti
tempat bermain. Artinya kelompok A menyerah sehingga kelompok B sekarang
pemilik rumah, sedangkan kelompok A ganti berusaha memperebutkan rumah B.
Demikian seterusnya sampai anak-anak merasa bosan bermain dan lelah.
Analisa
Permainan le-alle bengko merupakan suatu permainan anak- anak yang
hanya terdapat dr pulau Madura, yakni di bagian barat kota Sampang dan di
desa-desa pesisir. Permainan ini menggambarkan. suatu permainan anak-anak khas
Madura yang mempunyai ciri dari alat permainan yang dipergunakan yakni berupa
tiang dari teras rumah taneyan lanjang. Apabila kita artikan kata “le-alle
bengko” ini, terdiri dari dua kata yakni alle dan bengko. Alle artinya “pindah”
sedangkan bengko artinya “rumah”,. Kata bengko itu sendiri yang diumpamakan
“rumah”, Pengerfian “rumah” di sini bukanlah rumah yang sebenarnya, akan tetapi
tiang tempat pangkal anak-anak bermain yang diumpamakan rumah.
Seperti telah diketahui bahwa permainan le-alle bengko ini
merupakan gambaran dari bentuk kebudayaan Madura, yang telah melatar
belakanginya, karena alat yang dipergunakan adalah tiang rumah yang telah
tercipta dalam arsitektur daerah itu. Hal ini, karena bentuk rumah-rumah di
pulau Madura mempunyai gaya arsitektur yang tersendiri, di mana setiap sudut
mempunyai tiaiig teras yang dalam bahasa Madura disebut “soda”, dan sudut
“soda” rumah inilah yang diumpamakan sebagai bengko (rumah) dalam permainan.
Penduduk Madura merupakan suatu kelompok besar. Dalam
pengelompokan masih terdapat beberapa kelompok kecil antara lima sampai sepuluh
rumah dengan jajaran rumah yang memanjang atau saling berhadapan dan merupakan
suatu keluarga besar atau keluarga luas (extended family), yang disebut
“taneyan lanjang” (yang berarti halaman panjang). Rumah taneyan lanjang umumnya
dihuni oleh satu keluarga besar (extended family) yang terdiri dari kakek —
nenek dan anak-anaknya, termasuk anak yang sudah berkeluarga. Jadi satu
keluarga satu petak. Tiga atau empat keluarga (yang sudah berkeluarga), terdiri
dari tiga – empat petak menyatu dalam satu atap rumah yang memanjang ke sisi,
terjadilah rumah- rumah dengan taneyan lanjang. Hal ini sesuai dengan falsafah
hidup orang Madura di desa-desa yang menyatakan “makan tidak makan pokoknya
kumpul” yang memungkinkan terbentuknya rumah taneyan lanjang ini, sekali pun
hidup mereka kekurangan.
Rumah-rumah tempat tinggal yang terletak dalam satu taneyan
lanjang (halaman panjang) ini tidak dibatasi pagar. Rumah yang satu dengan
rumah yang lain saling berdekatan dan berderet menjadi dua baris yang
berhadap-hadapan, dan di tengah-tengah inilah anak-anak melakukan permainan
dengan menggunakan tiang-tiang pada setiap sudut ” soda” rumah yang mereka
umpamakan sebagai “bengko” (rumah) oleh anak-anak dalam permainan le-alle
bengko.
Permainan le-alle bengko ini sudah lama dikenal dan dimainkan
oleh anak-anak. Kapan permainan ini dimulai dan siapa yang mula-mula memainkan
tidak ada yang mengetahui. Yang jelas permainan ini sudah ada sejak dahulu dan
biasa dimainkan oleh anak-anak. Anak-anak sangat menggemarinya, karena le-alle
bengko ini sangat mudah dimainkan selain tidak perlu mengeluarkan biaya karena
yang menjadi alat utama adalah tiang rumah yang sudah ada, juga aturan-aturan
dari permainan ini tidaklah rumit. Oleh karena itu permainan le-alle bengko
dikatakan merakyat, sebab dapat dimainkan oleh siapa saja dengan tidak membatasi
kelompok sosial. Di samping itu cara memainkannya pun sangatlah sederhana, sesederhana
cara berpikir dan pola hidup orang desa. Jadi penduduk desa yang petani,
peternak, buruh tani, nelayan atau pun pelaut sama saja. Artinya anak-anaknya
akibat pengaruh kemampuan orang tuanya yang hidup rata-rata di bawah garis
kemiskinan sering memainkan permainan-permainan yang sederhana tidak
memerlukan biaya.
Apabila kita kaji dari pola permainan le-alle bengko ini sangatlah
sederhana, diperkirakan bahwa permainan ini asli dimainkan oleh anak-anak
petani di daerah ini yaitu di daerah yang berumah taneyan lanjang. Sedangkan
dilihat dari kata le-alle bengko berarti yang telah disebutkan di atas, mungkin
bisa diartikan rumah yang berpindah. Dahulu pemindahan rumah di desa berbeda
dengan di kota. Jika di kota, yang pindah adalah orangnya tetapi rumahnya tidak
turut pindah. Sebaliknya di desa-desa Madura umumnya dan khususnya di daerah
Sampang, yang pindah adalah rumahnya kemudian menyusul orangnya. Rumah yang
pindah ini adalah kerangkanya yang dipikul beramai-ramai oleh para sanak dan
tetangganya secara bergotong-royong.
Hal seperti di atas sesuai dengan permainan le-alle bengko yang
merupakan suatu permainan khas sesuai dengan kondisi lingkungan di mana
keadaan sosial masyarakatnya telah melatar belakangi budaya dalam bentuk
permainan ini, yang memperlihatkan
adanya keija-sama yang didukung oleh faktor kegotong-royongan di
antara warga masyarakat yang masih terjalin baik.
Kaitan antara permainan le-alle bengko dengan pemindahan rumah
secara bergotong-royong agar anak-anak tersebut melalui rekreasi selalu
mengingat sikap kegotong-royongan, yang mendasari pemindahan rumah salah
seorang warga desanya atau kampungnya. Oleh karena itulah permainan ini,
merupakan usaha melestarikan nilai dan sikap yang baik. Yang jelas permainan
sederhana ini memang timbul dari masyarakat itu sendiri, yang kemudian
diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, permainan le-alle
bengko sebagai salah satu permainan rakyat mempunyai arti yang sangat penting
di dalam upaya meningkatkan nilai-nilai budaya, karena di dalam permainan ini
tergambar kehidupan masyarakat petani yang telah melatarbelakangi bentuk
kebudayaan mereka.
Apabila kita kaji permainan ini, maka akan tampak nilai-nilai yang
tergambar di dalamnya. Ada pun nilai-nilai ini, antara lain:
1. Rasa disiplin, yakni para pemain harus mematuhi aturan- aturan
yang telah ditetapkan dalam permainan berdasarkan konsensus bersama. Seperti,
“pemilik rumah” tidak boleh terlalu lama tidak pindah rumah, dan satu rumah
tidak boleh direbut oleh dua orang dalam satu kelompok.
2. Unsur gotong-royong atau kerja-sama. Unsur gotong- royong di |sini
tampak sekali, yakni ketika akan berpindah dari satu tiang ke tiang lain, usaha
pindah ini haruslah segera diikuti oleh anggota kelompoknya. Misalnya, kelompok
A sebagai “penjaga rumah” di mana masing-masing anggotanya mempunyai tiang Al,
A2, A3, dan A4) (lihat dengan arena permainan). A1 berusaha pindah ke A2, dan
bersamaan dengan itu A2 berusaha pindah ke A3 dan A3 berusaha pindah ke A4,
begitu pula A4 harus berusaha pindah ke Al. Dalam usha pindah rumah ini, jangan
sampai rumah tidak terjaga karena bila rumah tidak dijaga maka akan ditempati
oleh lawan kelompoknya, dan kelompok “panjaga rumah” berarti kalah. Oleh karena
itulah, rumah yang kosong harus segera diisi, dengan segera oleh kawan
kelompoknya, sebab lawannya selalu mengincar kekosongan rumah tersebut.
Lantaran itulah tim atau kelompok A harus kompak, kerja sama rapi dan selalu
jeli, mencari kesempatan akan kelengahan*lawan, agar serempak bisa pindah rumah
sehingga rumah yang ditinggal tidak dapat direbut. Begitu pula kelompok B
sebagai kelompok “penyergap”, mereka harus bekeija sama sesama anggota
kelompoknya.
Selain itu melalui permainan ini anak-anak dapat mengembangkan
fisik, terbina kecekatannya dan ketangkasan; sedangkan dalam pengembangan
terbina keberanian dan kecerdasan. Dengan permainan ini dapat dididik anak-anak
baik dalam sikap maupun dalam gerak. Di dalam sikap si anak belajar menghormati
peraturan-peraturan yang dibuat dan disetujui sendiri, disiplin, memilih dan
menentukan bersama suatu siasat, menjaga keijasama dan kekompakan, kewaspadaan
menjaga milik sendiri, serta menangkis kemungkinan-kemungkinan ancaman dari
luar. Sedangkan gerakan yang menyatakan adalah kegesitan bergerak, cepat lari,
kemungkinan menghindari tubrukan yang melatih gerak naluriah lebih tajam.
Selaputnya apabila kita lihat dari latar belakang para pemain,
bahwa permainan ini tidak boleh dimainkan campuran jenis anak laki-laki dengan
anak perempuan, jadi kelompok bermain haruslah anak-anak sejenis ini, karena
dalam permainan ada konsekuensinya, apabila kalah maka kelompok yang kalah
harus menggendong kelompok yang menang. Tidaklah pantas jika anak perempuan
harus menggendong anak laki-laki atau sebaliknya anak laki- laki harus menggendong
anak perempuan.
Pada saat ini ^permainan le-alle bengko sudah mulai kurang
berkembang bahkan mulai punah. Walau pun masih ada anak-anak yang memainkan
permainan le-alle bengko ini. namun dapat dihitung dengan jari. Seperti juga
dengan permainan-permainan tradisional lainnya,, maka permainan ini makin lama
makin terdesak oleh bermacam-macam persoalan atau terdesak oleh kesibukan-
kesibukan anak itu sendiri seperti: menyelesaikan tugas-tugas pelajaran
sekolah; kegiatan-kegiatan sekolah; membantu orang tua, mencari nafkah; cara,
antara lain, menunggu warung atau berkeliling beijualan kue-kue. Kesempatan
bermain di siang hari makin berkurang, sehingga permainan le-alle bengko ini,
seringkali dimainkan pada malam hari menjelang bulan purnama.
Disayangkan sekali bila permainan ini menjadi punah. Padahal
apabila kita lihat permainan le-alle bengko ini sangatlah baik untuk pembinaan
anak-anak (proses sosialisasi), karena permainan itu sendiri mempunyai
nilai-nilai yang dapat membentuk jiwa dan sifat anak agar beijiwa sportif,
trampil dan sigap. Dengan melalui permainan ini, si anak akan berkembang daya
pikirnya dan pula sifat kegotong-royongan yang telah tertanam di desa akan
selalu terbawa dalam pembentukan pribadinya.
Sumber: Lontarmadura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar